KARAWANG, halokrw .com – Di balik seragam cokelat khas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), terdapat sosok perempuan yang berjuang menegakkan peraturan dengan penuh ketegasan sekaligus empati. Salah satunya adalah Mia Aprilia, seorang “Srikandi” Satpol PP Karawang yang telah merasakan suka duka bertugas di lapangan, dari negosiasi dengan pedagang hingga menghadapi aksi demonstrasi yang panas.
Bagi sebagian masyarakat, Satpol PP identik dengan penertiban paksa dan tindakan represif. Namun, Mia menegaskan bahwa pekerjaan mereka tidak sesederhana itu.
“Awalnya saya juga berpikir tugas Satpol PP hanya menggusur pedagang. Tapi setelah bergabung, saya menyadari bahwa setiap tindakan harus melalui proses hukum dan pendekatan yang tepat. Kami dituntut untuk sabar, bisa bernegosiasi tanpa kekerasan, dan menjaga komunikasi agar tidak salah ucap di depan masyarakat,” ungkap Mia, Selasa (25/2/2025) sore.
Mia juga kerap menghadapi pandangan sebelah mata, baik dari masyarakat maupun rekan kerja laki-laki. Tidak jarang, dirinya diremehkan saat bertugas. “Saya memilih untuk tidak menanggapi perkataan yang meremehkan. Saya tahu, mereka hanya melampiaskan amarahnya kepada kami karena merasa hak-hak mereka dibatasi. Selama tidak melukai fisik saya, saya lebih memilih diam dan tetap menjalankan tugas,” ujarnya.
Meski demikian, kehadiran perempuan di Satpol PP memiliki peran penting, terutama dalam situasi tertentu seperti aksi demonstrasi. Saat terjadi unjuk rasa, personel perempuan sering ditempatkan di garda depan untuk meredam ketegangan, terutama jika pendemo adalah ibu-ibu.
“Kami ditugaskan di depan untuk menjaga situasi tetap kondusif. Kalau kondisi makin panas, baru personel laki-laki turun tangan,” kata Mia.
Selain itu, saat melakukan penertiban di pasar atau bangunan liar, Satpol PP perempuan memiliki peran spesifik. Mereka lebih fokus memastikan masyarakat dapat membereskan barang dagangannya dengan baik dan membantu mereka yang kesulitan.
“Kami lebih ke pendekatan humanis, misalnya membantu ibu-ibu yang panik, menenangkan pedagang yang emosi, atau menangani mereka yang pingsan di lokasi,” jelasnya.
Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi Mia adalah saat penertiban di Pasar Lama Dengklong. Negosiasi yang awalnya berjalan damai tiba-tiba berujung ricuh. “Saat itu patroli diisi banyak perempuan. Ketika massa semakin banyak, kami harus mundur menyelamatkan diri. Bahkan, ada yang melempar petasan ke arah petugas dan rombongan muspida,” kenangnya sembari tertawa.
Meski tugasnya penuh tantangan dan risiko, Mia tetap menjalankan perannya dengan dedikasi tinggi. Menjadi bagian dari Satpol PP bukan hanya soal menegakkan aturan, tetapi juga bagaimana bisa hadir sebagai penjaga ketertiban yang tetap mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis.
0 Comments